Kisah Sultan Baabullah Mengusir portugis dari Ternate


Kisah Sultan Baabullah Mengusir portugis dari Ternate
Sultan Baabullah
Sultan Baabullah adalah sultan dan penguasa Kesultanan Ternate yang berkuasa antara tahun 1570-1583. Beliau merupakan sultan Ternate terbesar sepanjang sejarah. Beliau berhasil mengalahkan Portugis dan mengantarkan Kesultanan Ternate ke puncak keemasan di akhir abad ke-16. Karena luasnya daerah kekuasaannya, Sultan Baabullah juga dijuluki sebagai ‘Penguasa 72 Pulau’ yang meliputi pulau-pulau di Indonesia bagian timur, Mindanao Selatan (Filipina) dan Kepulauan Marshall.

Ayah Sultan Baabullah adalah Sultan Khairun (1535-1570), juga merupakan Sultan Ternate. Sultan Khairun sangat memperhatikan pendidikan Pangeran Baabullah, sejak kecil Pangeran Baabullah bersama saudara-saudaranya telah digembleng oleh para ulama Ternate dan para prajurit pilihan, sehingga mereka memperoleh pemahaman tentang ilmu agama dan ilmu perang sekaligus. Sejak remaja Pangeran Baabullah juga telah turut mendampingi ayahnya menjalankan urusan pemerintahan dan kesultanan.

Ketika terjadi perang Ternate-Portugis yang pertama (1559-1567), Sultan Khairun mengutus anak-anaknya sebagai panglima untuk menghantam kedudukan Portugis di Maluku dan Sulawesi. Salah satunya adalah Pangeran Baabullah yang kemudian tampil sebagai panglima yang cakap dan berhasil memperoleh kemenangan bagi Ternate. Ternate sukses menahan ambisi Portugis sekaligus memenangkan banyak wilayah baru.

KEBANGKITAN SULTAN BAABULLAH!!

Kematian Sultan Khairun yang tragis memicu kemarahan rakyat dan juga para sultan-sultan kecil di Maluku. Sultan Khairun tewas dibunuh oleh Portugis dalam sebuah taktik licik. Pembunuhnya bernama Lopez de Mosquito, salah seorang petinggi Portugis di Maluku. Pada awalnya Sultan Khairun diundang dalam sebuah jamuan sebagai bentuk ‘perdamaian’ antara Ternate dengan Portugis. Tetapi dalam jamuan tersebut, Sultan Khairun justru dibunuh dengan cara ditikam punggungnya oleh pasukan Portugis hingga tewas.

Mendengar kejadian tersebut, para ulama, bangsawan, dan tokoh masyarakat segera meminta Pangeran Baabullah untuk memimpin Ternate, menggantikan sang ayah. Pangeran Baabullah pun menyambut seruan para tokoh masyarakat itu. Dalam sebuah upacara pelantikan yang sederhana, Sultan Baabullah bersumpah bahwa ia akan berjihad untuk menegakkan kembali panji-panji Islam di Maluku dan menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kesultanan besar serta menghukum Portugis dan mengusirnya dari Maluku.

Sultan Baabullah tidak menunda-nunda waktu. Sesaat setelah pelantikan dan pidato politik diucapkan, seketika jihad diumumkan di seluruh negeri. Tak kalah dengan ayahnya, beliau tampil sebagai Amirul Jihad yang handal dan memimpin ribuan pasukan dari berbagai suku yang berbeda akar genealogis di Indonesia bagian timur. Untuk memperkuat kedudukannya, Sultan Baabullah menikahi adik Sultan Iskandar Tsani dari Kesultanan Tidore.

Suasana semakin panas. Berita kebangkitan Sultan Baabullah segera menyebar ke seluruh pelosok Maluku. Sultan-sultan kecil di daerah-daerah segera menyambut seruan jihad sultan tersebut. Termasuk juga di Mindanao (selatan Filipina) dan Papua. Mereka melupakan persaingan yang selama ini mereka lakukan. Berita kebangkitan Sultan Baabullah melenyapkan keegoan mereka dan menyadarkan para sultan-sultan kecil serta rakyat Maluku pada umumnya. Mereka bersatu dalam satu komando di bawah pimpinan Sultan Baabullah. Subhanallah wallahu akbar!!

Pasukan disiapkan. Beberapa pemimpin pasukan yang hebat diangkat oleh Sultan Baabullah, di antaranya Katarabumi (sultan Kesultanan Jailolo), Kapita Kapalaya (pemimpin daerah Sula), Kapita Kalakinka (pemimpin daerah Ambon), dan Kapita Rubuhongi. Total pasukan Islam di bawah Sultan Baabullah adalah 2.000 perahu kora-kora dan 120.000 prajurit. Seluruh pasukan disiagakan di pos masing-masing.

MENGUSIR PORTUGIS

Kisah Sultan Baabullah Mengusir portugis dari Ternate dimulai. Sebelum penyerangan dilakukan, Sultan Baabullah meminta kepada Portugis untuk menyerahkan Lopez de Mosquito untuk diadili. Tetapi permintaan sultan itu diabaikan Portugis. Hal ini membuat rakyat Maluku (khususnya Sultan Baabullah) marah besar.

Misi sultan untuk membersihkan Maluku dari orang-orang Portugis berlanjut. Beliau mengobarkan Perang Soya-Soya (Perang Pembebasan Negeri). Penyerangan pun dilakukan. Serangan dimulai dengan serangan dadakan dan dilakukan dengan cara mengepung pusat-pusat kekuatan Portugis. Benteng Tolucco, Santo Lucia, dan Santo Pedro jatuh dalam waktu singkat. Tahun 1571, pasukan Ternate berkekuatan 30 kapal yang memuat 3.000 prajurit di bawah pimpinan Kapita Kalakinka menyerbu Ambon (yang masih diduduki Portugis), dan berhasil menghancurkan kekuatan Portugis di sana. Di Pulau Buru, pasukan Portugis di bawah Kapten Sancho de Vasconcellos yang dibantu pribumi Kristen berhasil memukul mundur pasukan Ternate. Namun tidak lama setelah itu datang pasukan Islam di bawah pimpinan Kapita Rubuhongi. Pasukan bantuan itu segera mengambilalih kendali perang dan berhasil menguasai Pulau Buru.

Serangan besar itu hanya menyisakan Benteng Sao Paulo, yaitu kediaman Lopez de Mosquita. Sultan memang sengaja tidak menghancurkannya, karena ingin melihat De Mosquita menyerah.

Sultan benar-benar cerdik. Beliau memerintahkan agar para pasukan mengepung Benteng Sao Paulo dan memblokade hubungannya dengan dunia luar, agar suplai makanan dari luar tidak bisa masuk ke dalam benteng. Selama empat tahun orang-orang Portugis dan keluarganya hidup menderita dalam benteng, terputus dari dunia luar sebagai balasan atas penghianatan mereka.

Sebenarnya, Sultan Baabullah bisa saja menghancurkan benteng itu dengan sekali serang, namun mengingat di dalam benteng masih terdapat cukup banyak rakyat Ternate yang telah menikah dengan orang Portugis dan mereka tinggal dalam benteng bersama keluarganya, maka sultan hanya cukup mengepungnya saja. Karena kasihan dengan kondisi mereka, Sultan Baabullah akhirnya memberi ultimatum kepada orang-orang Portugis di benteng Sao Paulo agar mereka meninggalkan Ternate dalam waktu sehari semalam. Mereka yang telah menikah dengan orang pribumi diperbolehkan tetap tinggal dengan syarat menjadi pegawai rendahan di kesultanan. Alasannya agar mudah dalam pengawasan. 

Karena kondisinya semakin tertekan, Jenderal Alvaro de Ataide mengambil alih kendali menggantikan Lopez de Mosquito dan mulai menyerang pasukan Ternate dari dalam benteng. Namun langkah ini tidak membuahkan hasil. Justru yang terjadi sebaliknya. Pasukan Portugis semakin banyak yang mati.

Akhirnya, Alvaro pun mulai melunak. Dia bersedia berunding dengan Sultan Baabullah. Sikap Alvaro ini dihargai oleh Sultan Baabullah. Sultan pun turut melunak. Namun, meskipun bersikap “lunak” terhadap Portugis di Sao Paulo, Sultan Baabullah tidak melupakan sumpahnya. Beliau mencabut segala keputusan Sultan Khairun yang pernah memberikan ruang gerak kepada misionaris-misionaris Kristen. Dengan keputusan Sultan Baabullah tersebut, misi Kristen berhasil dihentikan. Tetapi bagi orang Maluku yang masih memeluk Kristen, tidak dipaksa untuk meninggalkan keyakinannya. Tidak hanya itu. Sultan juga mengizinkan agar bahan makanan bisa masuk ke dalam benteng, namun masih secara terbatas. Namun demikian, Benteng Sao Paulo terus dalam masa pengepungan hingga seluruh kekuatan Portugis diusir dari Maluku.

Demikianlah peperangan itu terjadi. Tanggal 15 Juli 1575, orang Portugis dipaksa hengkang secara memalukan dari Ternate, namun tak satu pun fisik mereka disakiti. Untuk sementara mereka diperbolehkan menetap di Ambon hingga 1576. Setelah itu sebagian dari mereka ada yang pergi ke Malaka dan sebagian lagi ke Timor (Timor Leste) dimana mereka akan menancapkan kekuasaan mereka hingga 400 tahun kemudian (sampai saat sekarang).

MENERIMA KUNJUNGAN FRANCIS DRAKE

Tanggal 3 November 1579, Sultan Baabullah menerima kunjungan Francis Drake, seorang petualang Inggris yang terkenal. Drake dan kelompoknya datang dari Australia dengan 5 kapal, salah satunya adalah kapal legendaris, Golden Hind. Kepada Sultan Baabullah, Drake menyatakan kedatangannya hanya untuk berdagang semata-mata. Ia mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap orang Portugis maupun Spanyol serta menceritakan situasi terakhir di Eropa, yang sedang berada dalam masa kebangkitan. Sultan Baabullah menerima tamunya dengan gembira dan menjamu mereka di istana. 

Dalam jamuan makan yang mewah, Drake dan rombongan disuguhkan hidangan dari sagu, nasi, bermacam-macam lauk pauk dari kambing, rusa, dan ayam sampai ikan bakar dan katang kanari (kepiting kenari), yang semuanya dimasak dengan ramuan cengkih khas Maluku. Antara Sultan dan Francis Drake timbul rasa saling menghormati. Francis Drake amat terkesan dengan Sultan Baabullah. Drake begitu puas dan bangga bisa mengenal Sultan Baabullah. Ia meninggalkan Ternate dengan kapal penuh muatan cengkih kualitas terbaik yang dihadiahkan sultan kepadanya. Sultan bersama armada Ternate mengiringi dan mengantarkan kepergian kapal Drake sampai ke laut lepas.

LAPORAN FRANCIS DRAKE

Sultan Baabullah dalam menghormati para tamu dilaporkan Francis Drake seperti yang dimuat Willard A. Hanna dan Des Alwi dalam buku mereka Ternate dan Tidore: Masa Lalu Penuh Gejolak, hal 96-97. Dalam buku itu tertulis,

“Sementara orang-orang kami menunggu kedatangan sultan yang akan datang kira-kira setengah jam lagi, mereka mendapat kesempatan lebih baik untuk mengamati semua itu; juga sebelum kedatangan sultan sudah ada tiga baris tokoh bangsawan tua, yang konon semuanya adalah penasihat pribadi raja; di ujung rumah ditempatkan sekelompok orang muda, berpakaian dan berpenampilan anggun. Di luar rumah, di sebelah kanan, berdiri empat orang dengan rambut ubanan, semuanya berpakaian jubah merah panjang sampai ke tanah, tetapi penutup kepalanya tidak jauh berbeda dari orang Turki; mereka ini disebut orang Rum (Romawi/Eropa), atau orang asing, yang ada di sana sebagai perantara untuk tetap memelihara perdagangan dengan bangsa ini: mereka adalah dua orang Turki, satu orang Italia sebagai perantara dan yang terakhir seorang Spanyol, yang dibebaskan oleh sultan dari tangan orang Portugis dalam perebutan kembali pulau itu, dan berhenti sebagai serdadu untuk mengabdi kepada sultan. 

Sultan akhirnya datang dari benteng, dengan 8 atau 10 senator yang mengikuti dia, dinaungi payung yang sangat mewah (dengan hiasan emas timbul di tengahnya), dan dijaga dengan 12 tombak yang matanya diarahkan ke bawah: orang kami (disertai saudara sultan), bangun untuk menemui dia, dan ia dengan sangat ramah menyambut dan berbasa-basi dengan mereka. Seperti telah kami gambarkan sebelumnya, ia bersuara lirih, bicaranya halus, dengan keanggunan sikap seorang sultan, dan seorang dari bangsanya. Pakaiannya menurut mode penduduk lain dari negerinya, tetapi jauh lebih mewah, sebagaimana dituntut oleh keberadaan dan statusnya; dari pinggang ke tanah ia mengenakan kain bersulam emas, sepatu dari beludru berwarna merah; hiasan kepalanya bertatahkan berbagai cincin berlapis emas, selebar satu atau satu setengah inci, yang membuatnya indah dan agung dipandang, mirip seperti mahkota; di lehernya ia mengenakan kalung rantai dari emas murni yang mata rantainya besar sekali dan satu rangkaian rangkap; di tangan kirinya terdapat Intan, batu Zamrud, batu Merah Delima dan batu Pirus, 4 batu permata yang sangat indah dan sempurna; di tangan kanannya; pada satu cincin terdapat satu batu Pirus besar dan sempurna, dan pada cincin lain terdapat banyak Intan berukuran lebih kecil, yang ditatahkan dengan sangat indah. 

Demikianlah ia duduk di atas tahta kerajaannya, dan di sebelah kanan berdiri seorang pelayan dengan sebuah kipas sangat mahal (tersulam dengan kaya dan terhias dengan batu nilam). Ia mengipas dan mengumpulkan udara untuk menyejukkan sultan, karena tempatnya panas sekali, baik oleh sinar matahari maupun kumpulan begitu banyak orang. Sesudah beberapa waktu, setelah para tuan menyampaikan pesan mereka, dan memperoleh jawaban, mereka diizinkan untuk pamit, dan dengan selamat diantara kembali oleh salah satu ketua Dewan Sultan, yang ditugaskan oleh sultan sendiri untuk melakukan hal itu.” 

SULTAN BAABULLAH DAN MASA KEEMASAN KESULTANAN TERNATE

Dengan kepergian orang Portugis, Sultan Baabullah menjadikan Benteng Sao Paulo sebagai benteng sekaligus istana. Beliau merenovasi dan memperkuat benteng tersebut kemudian mengubah namanya menjadi Benteng Gamalama. Sultan Baabullah masih melanjutkan hubungan dagang dengan bangsa Barat termasuk Portugis dan mengizinkan mereka menetap di Tidore, akan tetapi tanpa pemberian hak istimewa. Para pedagang Barat diperlakukan sama dengan pedagang-pedagang dari negeri lain dan mereka tetap diawasi dengan ketat, sebagai akibat dari perbuatan mereka dulu. Sultan Baabullah bahkan mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap bangsa Eropa yang tiba di Ternate untuk melepaskan topi dan sepatu mereka, sekedar untuk mengingatkan mereka agar tidak lupa diri.

Sultan Baabullah tetap memelihara persekutuan yang telah terbentuk dan sering mengadakan kunjungan ke wilayah-wilayah yang mendukung Ternate dan menuntut kesetiaan mereka terhadap persekutuan yang dipimpinnya. Tahun 1580 Sultan Baabullah mengunjungi Makassar dan mengadakan pertemuan dengan raja Gowa, Tunijallo, mengajaknya masuk Islam dan ikut serta dalam persekutuan melawan Portugis dan Spanyol. Sang raja tak langsung menyutujui ajakan sultan untuk memeluk Islam, namun setuju untuk ikut dalam persekutuan. Kemudian sebagai tanda persahabatan, Sultan Baabullah menghadiahkan Pulau Selayar kepada Raja Gowa.

Di bawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah kekuasaan dan pengaruhnya membentang dari Sulawesi bagian utara, tengah, timur, dan di bagian barat hingga Kepulauan Marshall. Dari Filipina bagian selatan hingga Kepulauan Kai dan Nusa Tenggara. Tiap wilayah atau daerah ditempatkan wakil-wakil sultan atau yang disebut Sangaji. Sultan Baabullah dijuluki “Penguasa 72 Pulau” yang semuanya memiliki pemimpin yang tunduk kepadanya.

Sultan Baabullah tetap melanjutkan kebijakan ayahnya dengan menjalin persekutuan dengan Aceh dan Demak untuk mengenyahkan Portugis dari Nusantara. Persekutuan Aceh – Demak – Ternate ini merupakan simbol persatuan nusantara karena ketiganya sebagai yang terbesar dan terkuat di masa itu merangkai wilayah barat, tengah, dan timur Nusantara dalam satu ikatan persaudaraan.